—
Naka menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan. Sedang menyiapkan mental untuk bertemu dengan Giorafsan yang sudah nyaris habis kesabarannya. Tapi meskipun begitu, Naka sudah bertekad untuk tidak minta maaf sebab ia merasa Gio lah yang seharusnya merasa bersalah.
Tidak menepati janji untuk mengajaknya ke pantai tepat saat laki-laki itu sudah memulai hari-hari cutinya juga. Naka kira sekembalinya ia ke apartemen bersama Gio ia akan langsung dibawanya jalan-jalan ke pantai. Jalan-jalan menghabiskan waktu berdua melepas rasa rindu, namun sayangnya itu semua hanya tinggal dalam bayang-bayang Naka.
Kini ia tengah memasang wajah tidak menyenangkan hati di depan kekasihnya yang sudah bersusah payah membuatkan sarapan pagi yang menjadi menu makan siangnya. Gio memandangnya serius, datar tanpa senyum menyambut kehadiran Naka yang pada akhirnya bersedia membuka pintu kamarnya. Naka berjalan perlahan-lahan duduk memangku kedua tangannya dan menunduk menghindari tatapan mata Gio.
“Kenapa nggak mau dengar kata-kata Gio?” sebenarnya tidak ada nada penekanan pada kalimat tanya itu, sulit mendeskripsikan bagaimana Gio marah. Nada bicara yang serius dan setajam pisau itu telah berhasil membuat nyali Naka menciut disampingnya. Namun tetap dengan pendiriannya Naka terus memilih bungkam.
“Naka nggak dengar kata dokternya kemaren? Naka bulan ini nggak boleh kemana-mana dulu kan? Antisipasi hal-hal unexpected. Adek sebentar lagi mau lahir loh.”
“Tapi kan Gio udah janji mau bawa Naka ke pantai, Naka pengen ke pantai Gio. Udah lama! Udah dari sebelum Naka tahu kalo adek datang ke kehidupan kita.” Naka serius juga sekarang. Entah apakah ucapannya semakin melantur namun yang jelas Gio tahu bahwa Naka juga sedang larut dalam emosinya yang tidak terkendali.
“Semenjak ada adek Gio emang selalu kasih perhatian lebih buat Naka. Tapi Naka sendiri nggak tahu sebenarnya Gio sisain perhatian Gio buat Naka apa enggak. Tiba-tiba semua harus tentang adek. Gio sampe lupa sama janji Gio ke Naka. Sebenarnya Gio peduli juga nggak sih sama Naka?!”
Gio bingung dengan kalimat yang diutarakan Naka saat itu juga. Ia kira Naka juga akan berpikiran yang sama dengannya. Bentuk kepeduliannya kini telah membuat Naka menjadi salah paham. Sejenak ia berpikir, mencoba mencerna perkataan takut atas sesuatu yang tengah ia hadapi. Gio tahu betul itu sebab tergambar jelas di mata Naka. Diikuti air mata yang menetes tanpa diminta. Gio tahu Naka sedih, sedih sekali sebab permintaannya tidak dituruti.
“Naka…” hela nafas berayun terdengar keluar dari mulut Giorafsan. “Dengerin Gio sebentar sambil lihat kesini.” Giorafsan menggenggam kedua tangannya lembut, sesekali memberikan kecup manis diatas punggung tangannya. “Gio tahu Naka capek. Kita semua capek, Tapi Naka nggak boleh nyerah. Sudah sejauh ini bertahan, kita pasti mau yang terbaik buat adek kan?”
Ya, tapi apakah Gio sekali saja peduli dengan Naka. Mendengar kalimat terakhirnya Naka lalu membuang muka.
“Naka lihat Gio!” pintanya tak ingin atensi itu hilang. Maka ditatapnya kembali dua bola mata bak elang milik Gio itu. Naka masih sesenggukan.
“Gio sayang sama Naka. More than anything you know. Gio juga sayang sama adek, karena sebentar lagi semuanya bukan cuma tentang kita berdua Naka… ada adek. Cheri is the reason why I love you so much. Naka mau Gio pilih salah satu? Naka sama adek itu seluruh dunianya Gio. The loves of my life. Jadi kalo Naka masih mikir Gio nggak peduli sama Naka cuma gara-gara adek, Naka yang salah. I care about you and her. I care about us, our little family.”
Pergi kemana pikiran Naka beberapa saat yang lalu. Tentu saja ia tahu dengan jelas bahwa Gio selalu peduli dengan mereka. Naka yang kini dipenuhi rasa bersalah kembali memikirkan titik dimana Gio tidak memperdulikannya sama sekali, nyatanya nihil. Ia selalu menemukan Gio yang selalu peduli kepadanya. Pergi malam-malam hanya untuk menuruti keinginannya sampai membuatnya merasa aman dan nyaman untuk kembali ke rumah bersama bunda demi keselamatannya. Naka selalu menjadi nomor satu bagi Gio-nya dan ia tak pernah menyadari itu.
Maka tangin menjadi semakin serius. Kedua mata Naka memerah serupa dengan pipi gembul dan hidung mancungnya, wajahnya basah karena air mata, sementara Gio malah tersenyum. Naka tidak pernah tidak cantik dalam situasi apapun, bahkan saat sedang menangis.
“Maaf ya Gio tadi agak marah dan sempat buat Naka takut.” Ia sisipkan surai kecoklatan milik Naka yang sudah agak panjang itu ke belakang telinga. Gio kemudian menangkup seluruh wajah Naka dengan kedua tangannya.
Naka mengangguk, berhenti menangis dengan nafas masih sesenggukan. “N-naka j-hiks… juga minta maaf… hiks–” katanya.
“Iyaa jangan mikir kayak gitu lagi mulai sekarang. Udah jangan nangis lagi dong sayangnya gio… nggak malu dilihatin adek?”
Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Naka menatap Giorafsan dengan sayang yang tidak berkurang sama sekali. “Cium…” rengeknya meminta.
Siapa yang tidak gemas dengan Naka kalau sudah begini. Gio sampai memejamkan matanya kegemasan diikuti senyum. Kemudian perlahan dengan amat sangat lembut, Gio mulai memberikan lumat pada bibir ranum merah muda itu. Seperti biasanya, Naka terasa semanis madu di pagi hari.
—
Memang agak drama pagi menjelang siang tadi. Tapi setelah itu Naka dan Gio menghabiskan waktu lima menitnya untuk ciuman sebelum menyantap makan siang. Si cantik Sagitarius itu sampai lupa sempat kecewa karena apa, yang pasti saat ini bahkan ia tidak dapat berhenti tersenyum bahkan beberapa menit sebelum tidurnya.
“Gio… udah tidur?” Naka berbalik pelan-pelan sembari pegangi perutnya. Melihat Giorafsan yang sudah terlelap dengan nafas yang teratur membuatnya semakin ingin menahan rasa mulas pada perutnya. Naka kesakitan malam itu tapi disisi lain ia tidak ingin membangunkan Gio dari tidurnya.
“Adek kenapa? Tidur yuk, udah malem… sakitnya besok pagi aja adek. Ayah Gio udah tidur.” katanya mengoceh sendiri sambil mengusap-usap perutnya. Naka sedikit kebingungan, namun ia tetap menahan rasa sakit itu sekeras apapun. Mungkin dengan ikut memejamkan mata Naka akan membuat rasa sakit itu menghilang. Ia memeluk lengan Gio erat menahan rasa sakit, meski memejamkan mata Naka tidak berhenti menggigit bibir bawahnya sambil menahan tangis, namun semua perlakuannya barusan malah membangunkan Gio secara tiba-tiba.
“Naka, sayang kenapa?”
Untuk sesaat Naka membuka matanya, memang benar rasa sakit itu sudah tidak bisa ditahan lagi. Ia merengek menatap Gio-nya malam itu.
“Perut Naka sakit Gio…”
“Kita ke rumah sakit sekarang.”
Naka sempat mengangguk setuju begitu Gio dengan cepat mengambil jaket seadanya untuk Naka.
“Naka bisa jalan nggak?” tanyai Gio mensejajarkan dirinya dengan Naka yang masih duduk ditepi ranjangnya.
Naka menggeleng sambil berseru, “sakit~”
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Gio mulai menggendong Naka dan membawanya masuk kedalam mobil.
“Tunggu sebentar ya Naka…” Begitu mintanya bahkan setelah ia berada dalam mobilnya.
Naka mulai tidak bisa diam, ia tidak tahu kalau rasanya akan sesakit ini. Yang dilakukannya hanya merengek dan menggenggam ujung piyama Gio sambil memanggil namanya.
“Gio, Naka sakit banget…”
“Naka tarik napas panjang terus buang pelan-pelan. Naka you got this, okay… perjalanan ke rumah sakit 20 menit dari sini. Naka tiduran dulu.” Gio dengan cepat membuat bangku mobilnya tertidur, meski dihadapkan dengan Naka yang tengah mencak-mencak Gio harus terus membuatnya dirinya sadar.
[ ]
rain.