The new feeling of love

rain
6 min readNov 7, 2024

--

Ketika tahu hari itu ia akan bertemu dengan Nata, Jingga sengaja bangun lebih pagi. Siapkan sarapan untuk dibawanya pergi. Tak lupa Niko yang mau diajaknya pergi kini sudah siap dengan sepeda miliknya di depan rumah. Panggil-panggil nama Jingga seperti bocah SD yang mengajak teman-temannya bermain.

Begitu Jingga bertemu pandang ia melambaikan tangannya memintanya untuk masuk ke dalam rumah. Niko tidak bisa menolak, sebab wangi masakan itu seperti memaksanya untuk masuk ke dalam.

Delima cemberut, padahal tetangga dan orang favoritnya (re: Niko) datang menyapanya saat sarapan berlangsung.

“Kenapa cemberut gitu?” ketika ditanya begitu, Delima semakin kesal dengan tunjukkan ekspresi gusarnya.

Anaknya lagi kesel soalnya nggak boleh main ke pantai. Ya, gimana orang dia sekolah hari ini… ibu tahu, Delima udah bolos 3 kali waktu kelas, makanya ibu nggak bolehin dia.”

Jingga tertawa dalam diamnya. Biarkan Niko pahami setiap kata yang disampaikan melalui bahasanya.

“Padahal hari ini katanya bakal ada temen Kak Jingga yang dari Jakarta. Delima pengen ketemu, ibuu.. boleh ya?” Delima pantang menyerah utarakan inginnya meski tahu sang Ibu menggeleng dua kali.

“Nanti kalau pulang baru kamu boleh nyusul ke pantai.”

Dengar keputusan itu Delima bukannya senang malah semakin kesal. “Nggak seru ah!”

“Del, kita berangkat bareng aja ke sekolahan. Gimana?”

Delima sudah senyum duluan, suasana hatinya langsung berubah drastis setelah dengarkan tawaran Niko namun kembali berubah lagi setelah dengar deheman sang ayah.

“Nggak usah, Delima biar sama ayah aja berangkatnya kan lebih deket sama kantor ayah daripada sama pantai.” Sindir Juna seakan-akan tahu rencana kabur Delima dan Niko hari itu.

Delima layaknya anak kecil pada umumnya ia pura-pura menangis dan buat semua orang di meja makan menahan tawanya.

“Pelan-pelan aja ya bawa sepedanya. Aku bawa makanan agak berat.” Jingga sempat tunjukkan satu buah tas untuk makan siang bersama.

“Mau aku bantu bawa? Sini,” dan Niko ulurkan tangannya membantu.

“Bisa?”

Niko tersenyum, meski tak yakin tapi ia mengangguk dan pastikan Jingga tidak kerepotan dengan barang bawaannya.

“Aku bawa biar kamu bisa pegangan nanti.”

Pegangan? Supaya tidak jatuh? Entah kenapa Jingga jadi sedikit merona dengar pernyataan itu. Pelan-pelan ia mulai terima tawarannya dengan menyerahkan tas serut ukuran sedang itu pada Niko.

Makasih ya…” Jingga meletakkan tangannya di depan dagu dan menggerakkannya keluar untuk nyatakan terima kasihnya dalam bahasa isyarat.

Niko tersenyum setelahnya, bahkan setelah Jingga naik diatas boncengan sepedanya.

Perjalanan yang ditempuhnya dengan hening buat Niko terbayang-bayang akan sesuatu. Hal konyol memang, Niko tidak tahu akan seperti apa reaksi Jingga jika tahu kalau ia tengah membayangkan menjadi kekasihnya. Jingga dengan segala sikapnya yang lembut dan senyumnya yang manis itu. Niko bahkan tidak pernah berhenti barang semenit saja untuk tidak memikirkan Jingga.

Sepeda dikayuh tidak terlalu kencang, namun angin masih dapat terbangkan surainya kesana dan kemari. Jingga tahu, sedikit lagi ia akan sampai. Pantai sekarang terasa seperti rumah kedua untuknya. Sejak ia memutuskan untuk berhenti kuliah dan melupakan semua mimpinya yang kata orang ‘ketinggian’ itu di kota besar.

Sudah lama Jingga berdebat dalam hatinya untuk itu, seharusnya sekarang ia baik-baik saja bahkan setelah melihat tiga orang yang dikenalnya berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.

Jingga tersenyum sangat lebar begitu dengar pekik namanya disebutkan. Nata, laki-laki manis yang selalu ada untuknya dulu kini berlari dengan kaki telanjang di pesisir pantai demi menjangkaunya. Jingga lambaikan tangannya sebelum tubuhnya itu disambut dengan pelukan. Jingga sampai nyaris terjatuh kalau ia tidak bisa menjaga keseimbangan.

“Demi Tuhan, gue kangen banget sama lo Jijii…” dan nama panggilan itu disebutkan lagi. Nama panggilan yang selama ini diberikan oleh Nata untuknya. Nata belum ingin lepaskan pelukan itu, sementara Jingga tahu Adam dan Satria ada di belakangnya menyapa dengan senyum.

Natala nyaris menangis atau bahkan sudah. Jingga tidak tahu, yang ia tahu suara seraknya kini terus ucapkan kata-kata rindu sebanyak yang ia bisa. Jingga tahu bahkan Nata hanya mengulang semua kalimatnya sambil menangis.

“Jiji jangan tinggalin gue lagi please… gue nggak bisa sehari-hari kuliah nggak sama lo lagi. Jiji gue kangen banget, tiap malem berusaha buat ngabarin dan nunggu kabar dari lo, tapi gue ngerasa kalo lo makin ngejauh. Jiji gue nggak sanggup, mau berhenti kuliah aja terus tinggal disini sama lo, gue nggak mau kalo nggak sama lo jii…”

Jingga tidak tahu sudah berapa kali kata ‘jiji’ dan ‘kangen’ disebutkan berkali-kali dalam kalimatnya. Rasanya seperti ia mendengar si scorpio itu tengah membuang segala rindunya di tengah pantai saat ini.

Pelukannya terlepas namun Nata terlihat enggan.

“Lo kenapa jadi jarang kabarin gue?” Nata kerucutkan bibirnya sedih karena akhir-akhir ini kabar dari Jingga rasanya jarang ia dapatkan. Jingga jadi jarang ceritakan hal menyenangkan lagi untuknya.

Aku minta maaf. Aku nggak mau ganggu kamu..”

“Lo nggak pernah ganggu gue Jijii… please jangan gitu lagi.”

Natala menangis, air matanya sudah tidak dapat dibendung lagi pun juga dengan Jingga. Kedua pipi tembamnya itu kini ditangkup oleh kedua telapak tangan Nata sendiri. Dua ibu jarinya bergerak mengusap air mata Jingga perlahan sebelum kini Nata berikan satu kecup singkat pada bibir lembutnya. Buat Jingga ata siapapun disana terkejut.

“Nggak ada orang yang sayang sama lo lebih dari gue sayang sama lo, Jiji… lo inget kan, gue udah nggak punya siapa-siapa lagi. You're the only family I have. Jadi please jangan tinggalin gue kaya gini..”

Nata begitu tulus. Jingga tahu dari matanya, dari setiap getar pada suaranya. Bahkan ia merasa senang saat ciuman pertamanya itu datang darinya, dari orang yang begitu tulus sayang padanya.

Jingga sama sekali tak menghiraukan Adam, Niko maupun Satria setelah ciuman pertama itu. Memang begitulah persahabatannya dengan Nata. Jingga kemudian berhambur kembali dalam pelukan, kali ini rasanya seperti Jingga tidak akan pernah melepaskan Nata untuk selamanya.

Sudah dua puluh lima menit Jingga dan Nata berlarian ke tepi pantai, saling mengejar dan menangkap. Dari kejauhan siapapun setuju kalau mereka terlihat seperti adik dan kakak. Siapapun juga tahu kalau bahagia benar-benar terlihat cocok untuk mereka berdua.

Niko yang baru kali pertamanya melihat pemandangan ini sekalipun seakan tidak berhenti memotret keduanya.

“I get why you're so into him,” celetuk Niko di tengah keheningan yang tiga orang itu buat. Siapapun disana tahu kalau celetuknya tadi dimaksudkan untuk Adam. Tentang Jingga dan segalanya yang melibatkan perasaannya pada Jingga.

Niko tersenyum, masih senang memandangi Jingga dari kejauhan.
“Adam kan?” ia menatapnya tepat seakan tebakannya sudah benar bahwa seseorang yang dipandangnya saat itu adalah Adam.

He talked about you a lot.”

Adam terdiam. Entah apa yang dibicarakan Jingga mengenai dirinya.

“Dia ngomongin apa aja?” Satria ikut nimbrung tanyakan sesuatu yang tidak seharusnya ia tanyakan.

“Semuanya, tentang Nata, tentang Satria juga. Lo Satria kan? Pacarnya Nata ya?” Niko seperti bukan lagi menebak. Mendengar namanya disebut Satria kemudian mengangguk dan berikan senyum miringnya.

“Lo nggak pernah telat, dam.. Jingga masih sayang sama lo. Dia cuma nggak percaya aja sama dirinya sendiri. Mau Jingga lari sejauh apapun, gue minta tolong sama lo buat kejar dia terus. He probably needs some time alone, but he also needs someone to count on. I believe you are the someone he needs.”

Adam lagi lagi renungkan apa yang membawanya kemari. Untuk mengejar Jingga, ia datang kemari untuk Jingga dan hanya Jingga yang menjadi alasan atas segala hal yang dia lakukan.

“Gue kesini buat Jingga. I realized that I need him.” Aku Adam dengan netra yang memandang kedepan. Pemandangan Jingga tersenyum dan hamparan laut yang luas buatnya rasakan jatuh cinta berulang kali.

He's so pretty isn't he? Who wouldn't fall for him.” sambungnya lagi katakan pada dua orang disampingnya —Satria memilih untuk terkekeh, seperti sudah biasa dengan perlakuan temannya ketika jatuh cinta.

Especially after you look deep into his eyes.” Niko secara tidak langsung setuju dengan pendapatnya.

“Niko? Jangan bilang lo juga…”

Niko tertawa kecil, bagaimanapun juga perasaannya pada Jingga tidak dapat ditutupi lagi.
“Do I fall in love? Yes, I am.”

Adam sampai bingung harus bagaimana ia menanggapi ini.

Hahaha, good luck deh buat kalian.” Tahu-tahu saja Satria sudah pecahkan suasana dengan tawanya yang renyah.

“Iya tapi percuma juga gue berusaha buat dapetin Jingga kalau Jingga maunya cuma sama lo.” Niko menyiku Adam demi dapatkan perhatiannya. “Tuh lihat Jingga bahagia banget semenjak lo dateng kesini.” Niko arahkan pandangannya pada lautan, pada Jingga yang menjadi bagian dari pemandangan indah di depan sana.

Adam seketika merona sebab dari kejauhan sana ia mendapati Jingga melambaikan tangan padanya. Pikirnya, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan Jingga.

Dari kejauhan, Adam terlihat berlari di atas pasir lembut yang menyelimuti pantai. Angin laut yang segar bertiup, membawa aroma asin yang memeluk tubuhnya. Jejak langkahnya membekas, perlahan memudar dihempas ombak kecil yang merayap ke tepian. Matahari yang hampir tenggelam melukiskan semburat jingga di langit.

Jingga terdiam, sebab ia tahu Adam tengah menuju padanya dengan cepat. Semakin dekat, degup jantungnya berpacu seiring irama langkah. Ia bisa melihat wajah Adam yang tersenyum, matanya berbinar seolah menyimpan seluruh cahaya senja. Dengan napas yang memburu Adam mendekati Jingga dan berhenti tepat di hadapannya. Ia menarik satu kali napas panjang sebelum kemudian jatuhkan cium di atas bibir manis Jingga. Tunjukkan bahwa semuanya yang ia lakukan sejauh ini hanya untuknya, hanya ditujukan padanya.

[ ]
rain.

--

--

rain
rain

Written by rain

ֶָ֢ 𝒚𝒐𝒖 𝒂𝒓𝒆 𝒘𝒆𝒍𝒄𝒐𝒎𝒆 𝒕𝒐 𝒕𝒉𝒆 𝒓𝒊𝒑𝒑𝒆𝒅 𝒑𝒂𝒈𝒆𝒔 𝒐𝒇 𝒎𝒊𝒏𝒆.

No responses yet