﹏
Sadam sudah berdiri bersandar pada sisi pintu mobilnya malam itu. Begitu Kean menyambut dengan senyuman setelah menutup pintu Sadam menghampirinya sambil ulurkan tangan.
“Ibu mana? Saya mau pamit sekalian.”
Kean menggeleng. “Ibu lagi nggak di rumah mas, barusan aja berangkat arisan di balai RW.”
“Kamu sudah pamit ibu kan tapi kalau mau pergi sama saya?”
“Sudah mas, aman.” Kean malu-malu mulai merangkul salah satu lengan Sadam.
Laki-laki taurus itu sengaja bukakan pintu mobil untuk kekasihnya. Menurutnya Kean terlalu cantik untuk dibiarkan melakukan sesuatu sendiri.
“You look like a princess.”
Bukan cantik atau apa, pujian ‘seperti princess’ baru saja dikatakan oleh Sadam setelah keduanya duduk di dalam mobil. Kean salah tingkah sendiri, padahal ibu lebih sering panggilnya “anak putri” daripada pujian malam itu. Entah mengapa satu kali pujian dari Sadam berhasil buat hatinya berdebar sejak saat itu.
Kean pandangi kedua ujung kakinya malu, tangannya dikepalkan diatas paha, salah tingkah ia dibuatnya. “m-makasih mas..”
“Udah dikunci pintu rumahnya?”
Kean mengangguk, masih belum sanggup menatap Sadam saat itu. Tak mau Sadam melihat rona merah di pipinya —Kean terus menundukkan kepalanya. Mungkin selain pujian penampilan Sadam yang penuh karisma malam itu buatnya salah tingkah sendiri. Kean sampai tidak tahu harus memulai percakapan dengan apa dan bagaimana.
Begitu mobil perlahan berjalan maju tinggalkan halaman rumah tersebut, tak ada percakapan berlangsung. Pikiran Sadam terus terpaku pada hari lalu, kemarin ia tahu betul Kean telah diantar bersama laki-laki lain yang ia tidak tahu siapa namanya. Sadam pikir mungkin pria di dalam mobil yang bersama Kean kemarin adalah Giri yang pernah dibicarakan Kean sebelumnya.
Ragu untuk bertanya setengah perjalanan menuju kafe tersebut keduanya hanya menciptakan diam. Sadam tak berani tanyai tentang siapa yang ia curigai malam itu. Namun Sadam tahu bagaimanapun juga ia berhak untuk bertanya.
“Kean..”
Kean kumpulkan dirinya setelah malu-malu, rona di kedua pipinya mungkin belum hilang, debar pada hatinya tak kunjung usai. Kean menatap Sadam yang tengah konsentrasi pada jalanan sebagai jawaban.
“Saya boleh tanya sesuatu?”
Lampu merah menyala terang tepat di depan mobil sedan hitam yang mereka tumpangi. Sadam hentikan mobilnya sejenak turuti perintah lalu lintas. Baru ia dapat menatap Kean yang mengangguk tanggapi tanyanya.
“Ada apa mas?”
“Kemarin kamu bilang kalo kamu pulang sama temen ya?”
Kean mengangguk iyakan pertanyaannya.
“Boleh saya tahu temen kamu itu?”
Kean merasa seperti tertangkap basah tengah berbohong. Padahal yang dikatakan tersebut benar adanya —benar kalau ia pulang dengan teman. Kean alihkan pandangannya ke arah lain, kali ini sungguh tidak berani menatap kembali si mata elang tersebut. Meski berusaha untuk tidak merasa takut untuk menjawab, Kean tetap tundukan kepalanya tidak terlalu rendah sembari menjawab.
“Mas Giri.”
Mungkin saat itu bunyi klakson dari mobil yang dibelakangnya tidak terlalu buat Sadam terkejut daripada jawaban Kean. Sadam membisu, ia mulai lajukan lagi mobilnya sambil berusaha kumpulkan pikirannya menjadi satu lagi.
Si taurus sungguh tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Kean hari itu. Memilih untuk pulang dengan mantan kekasih yang sempat mengajaknya menikah dengan sebutan ‘teman’ benar-benar diluar dugaannya.
“Emangnya kamu temenan sama Giri? Sejak kapan?”
Kean tidak tahu ia bisa merasa terintimidasi hanya dengan sebuah tanya dari Sadam. Sementara itu ia juga tidak mengerti bagaimana cara menjawab pertanyaan Sadam sebab sejak awal pun Giri tidak pernah menjadi teman akrabnya. Ia hanya dikenalkan oleh teman satu kampus waktu itu, Giri cuma senior yang tiba-tiba menyatakan cinta padanya.
“Sejak kapan Kean? Sejak kalian putus, kamu sama Giri memutuskan untuk berteman?”
Kean coba bedakan antara ‘teman’ dan ‘mantan’ dalam kepalanya. Jelas keduanya sangat berbeda, maka ia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
“Maaf mas..” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
“Padahal saya nggak suruh kamu minta maaf.” Kekeh kecil terdengar dari Sadam. Laki-laki itu langsung pindahkan tangannya dari perseneling mobil ke punggung tangan Kean. Menggenggamnya dengan lembut sehingga secara langsung buat Kean kembali merasa tenang.
“Saya nggak marah, Kean.” Tapi sejak tadi Kean tahu Sadam belum memanggilnya dengan panggilan sayang. Ia hanya dengar namanya disebutkan. Meski begitu Kean tetap terkejut. Bagaimana bisa laki-laki itu tetap tenang dan perlakukan dirinya dengan lembut padahal yang dilakukannya kemarin sudah sedikit keterlaluan. Pulang dengan mantan kekasihnya sendiri, mungkin kalau Sadam yang lakukan itu Kean akan pundung berhari-hari.
“Kenapa kamu nggak jujur aja kemarin kalau pulang sama Giri.”
“Eh.. itu. Sebenernya Mas Giri kemarin pesen bunga pas toko mau tutup. Terus sekalian nawarin pulang bareng. Aku kira Mas Sadam masih lembur kaya kemarin jadi nggak bisa pulang bareng sama Kean. Terus akhirnya Kean langsung iyain pas diajak pulang. Eh, tiba-tiba Mas Sadam bilang mau jemput, jadi ya.. terpaksa aku harus.. soalnya aku nggak enak nolak Mas Giri.”
Sadam dengar penjelasan Kean dengan seksama. Sangat masuk akal dan dapat diterima. Ia putuskan semuanya hanya kesalahpahaman saja. Sadam masih terus mengelus punggung tangan Kean dengan lembut.
“Maaf ya—”
“Jangan minta maaf, kamu nggak salah kok. Mungkin saya akan lakukan hal yang sama kalau jadi kamu. Maaf saya telat ngabarin kemarin kalau saya nggak lagi lembur. Saya jadi kalah cepet deh sama Giri.”
Sadam tertawa kecil menatap Kean sepersekian detik sebelum kembali lagi fokus pada jalanan. Sejak tawa kecil itu terdengar Kean merasa begitu jauh lebih tenang. Perasaan was-was dan panik telah berkurang.
“Mas Sadam marah nggak?”
“Karena kamu pulang sama Giri?”
Kean anggukan kepalanya pelan.
“Saya sebenarnya lebih ke cemburu sih.. saya nggak bisa marah sama orang secantik kamu.”
Pada detik itu, Kean putuskan bahwa ia adalah orang paling beruntung di dunia bisa punyai Sadam di hidupnya. Senyum mengembang sempurna, Kean bertekad tidak akan ulangi kesalahan yang sama di lain hari.
Pelayan kafe tersebut berikan senyum ramahnya sekalian dengan dua lembar kertas berbentuk hati untuk pengunjung barunya. Sadam dan Kean yang malam itu memilih untuk duduk berhadapan di salah satu spot kafe paling nyaman.
“Terima kasih atas kunjungannya dan partisipasi dalam event Paper Hearts. Sembari menulis saya akan siapkan pesanan kakak.”
[ ]
rain.