Nervously in love.

rain
3 min readFeb 1, 2025

“Aku nggak bisa ayah, aku udah bilang ke ayah dari jauh hari kalau aku nggak bisa ikut family dinner hari ini. Kenapa ayah nggak pernah dengerin aku sih?”

Kafka menggigit bibir bawahnya gugup. Emosi yang meluap nyaris tidak terkontrol seandainya ia tidak berada ditempat yang jauh dari keramaian. Perlahan-lahan ia atur nafasnya sendiri. Di dalam toilet cafe ia menatap bayangannya sendiri di depan cermin besar. Tangannya yang kanan menggenggam ponsel di dekat daun telinganya tanda sedang dalam panggilan.

Selanjutnya yang terdengar hanya caci maki dan ancaman yang diberikan sang ayah untuk anak bungsunya.

“Kamu emang nggak pernah sama seperti kakakmu!” Kafka tahu kalau ujungnya akan seperti ini. Kalimat perbandingan yang sudah sering didapatkan hanya bisa dimasukkan lalui kuping kanan dan keluar kuping kiri saja. Ia sudah tidak peduli.

“Ya because I'm not her.” Kafka mematikan ponselnya secara sepihak. Peduli setan kalau perbuatannya itu kurang sopan di depan orang tua. Ini semua demi kewarasannya.

Kepalanya pening, pertengkaran kecil hanya perkara waktu saja buat dirinya seakan ingin menarik diri dari keramaian selamanya. Siap tidak siap ia harus ada di depan sana, sambut semua pengunjung yang siap menyaksikan.

Begitu kakinya melangkah dengan cepat ingin segera tinggalkan tempat itu, Kafka tak sengaja tabrakkan dirinya dengan seseorang. Untuk sesaat ia merasa lega karena orang yang didapatinya saat itu bukan lagi orang asing.

“Dirga?”

Hey, why are you here? Bukannya sebentar lagi gig-nya mau mulai ya?” Dirga coba tenangkan Kafka yang tampak sangat jelas panik tergambar di wajahnya.

“Iya, ini—”

Wait.. tangan lo dingin banget. Nervous?”

Tangan Dirga hangat menggenggam milik Kafka yang dingin dan berkeringat. Peluhnya berjatuhan terlihat bahkan sebelum dirinya naik ke atas panggung.

Kafka tidak dapat bohong kalau dirinya masih belum bisa tenang sejak panggilan dengan ayahnya itu. Perasaan was-was tiba-tiba menyelinap menyapa hati, takut kalau kalau ayahnya tahu ia sedang berada di cafe dan melakukan pekerjaan paling tak disenanginya.

“s-sedikit,” jawab Kafka merasa aneh dengan dirinya sendiri.

“Tell me what you feel!” Dirga masih belum ingin melepaskan tautan pada jari jemarinya. Menggenggam erat seorang Kafka entah sampai kapan. Mungkin sampai laki-laki Desember itu merasa lebih baik.

“Takut.”

Perasaan pertama yang Dirga terima dengan anggukan, perasaan pertama yang Kafka berhasil aturkan dalam pengakuannya.

“Sedih, marah? but I'm quite happy.” Kafka tidak mengerti mengapa ia harus akui semua perasaan ini padanya. Namun yang ia tahu dengan utarakan perasaan-perasaan ini, ia menjadi sedikit lebih baik. Karena ia tahu ada seseorang yang tengah menatapnya setuju, berikan tatapan seolah telah memvalidasi semua perasaan yang ada dalam hatinya itu.

“Anything else?”

Ketika Dirga lagi bertanya, Kafka nyaris kehilangan fokus. Ia biarkan netra terus menetap dan menatapnya sampai nyaris tenggelam. Cukup intens buat jantungnya merasa gugup dengan cara yang indah.

“My heart skipped a beat.” Kafka benar-benar utarakan perasaannya yang satu itu dengan serius. Hangat pada genggaman masih bisa dirasakannya.

Entah apa yang mereka rasakan saat itu. Keduanya setuju untuk menjauh sedikit dan melepas tatap yang cukup intens. Dirga akui bahwa dirinya belum pernah sangat mendambakan seseorang hanya karena setelah beberapa detik saling menatap.

“I gotta go. Thank you for the help.” Ia tersenyum kemudian pergi seakan Kafka tahu bahwa ini sudah saatnya ia memainkan sebuah piano yang telah menunggu di atas panggung.

[ ]
rain.

--

--

rain
rain

Written by rain

ֶָ֢ 𝒚𝒐𝒖 𝒂𝒓𝒆 𝒘𝒆𝒍𝒄𝒐𝒎𝒆 𝒕𝒐 𝒕𝒉𝒆 𝒓𝒊𝒑𝒑𝒆𝒅 𝒑𝒂𝒈𝒆𝒔 𝒐𝒇 𝒎𝒊𝒏𝒆.

No responses yet