cw // m-preg
﹏
Sudah hampir dua jam berlalu, Jongseong masih belum mendapati sang istri datang untuk menemuinya di ruang makan. Celine dan Cyra terus tanyakan keberadaan maminya itu, tak sabar menantikan makan pagi bersama.
Jongseong khawatir, meski ia berusaha pikir positif tetap saja keinginan untuk menghampirinya tidak diurungkan begitu saja.
“Adek sama kakak dulu ya.. Kak jagain adeknya ya.”
Celine mengangguk turuti pesan sang papa, ia menggeser bangkunya sedikit lebih dekat dengan si bungsu, Cyra.
Jongseong masuk ke dalam kamar tidurnya, menuju kamar mandi yang masih tertutup rapat.
“Sayang… masih lama?”
“Sebentar.”
“Kamu kenapa?” Sebab baru saja Jongseong tidak salah dengar. Suara serak Sunghoon di dalam sana tunjukkan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
“Mual..” begitu jawaban terdengar bersamaan dengan pintu kamar mandi yang terbuka. Tampilkan seorang Sunghoon dengan wajahnya yang pucat.
Meski sudah bisa menemui Jongseong, Sunghoon masih merasa dirinya tidak baik-baik saja. Beberapa kali ia masih harus berbalik untuk menuju wastafel. Keluarkan isi perutnya sedikit demi sedikit, dan Jongseong datang untuk membantu.
“Ke dokter ya hari ini?”
Sunghoon menggeleng, “jadwal check up nya baru besok. Aku nggak—” Sunghoon bawa dirinya kembali ke depan wastafel.
“Duh aku nggak kuat, dulu pas hamil Cyra aku nggak se-mual ini perasaan.” Sunghoon sandarkan tubuhnya pada tubuh Jongseong yang berdiri tepat dibelakangnya.
Perutnya yang mulai membesar kini diusap, dielus dengan sayang penuh kehati-hatian.
“Dedek kenapa sih? Pagi-pagi udah rewel.” ujar Sunghoon seperti biasa yang ia lakukan, berkomunikasi dengan janin di dalam perutnya.
“Dedek harus periksa hari ini.”
“Besok aja.”
“Sekarang mami, kasihan kamu sama dedek.”
“Cuma morning sickness biasa aku. Lagian kalo sekarang nanti siapa yang anterin Celine sama Cyra sekolah.” Sunghoon masih khawatirkan dua anak gadisnya.
“Ada Mbak Nila tadi barusan datang.”
Meski sekarang Sunghoon punyai babysitter untuk dua gadis kecilnya, entah mengapa rasanya ia lebih terbiasa mengurus anak-anaknya sendiri. Padahal keberadaan Nila disana lumayan membantu banyak dari mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Sunghoon masih selalu mengambil alih peran ibu di rumah untuk Celine dan Cyra. Namun untuk hari ini saja, Jongseong memintanya untuk tidak perlu khawatirkan kakak beradik itu dan percayakan sepenuhnya pada pengurus mereka.
“Mami?”
Sunghoon mengangguk akhirnya, karena dipikir dan dirasakan lagi ia sedang sangat membutuhkan kunjungan ke dokter saat ini juga untuk tahu apa yang salah dengan dirinya.
“Sekarang sarapan dulu ya dibawah sama anak-anak, aku suapin.”
Sunghoon tersenyum, tak usah meminta, Jongseong selalu tahu apa yang ia berikan.
“Mammih mam.. mam..” Cyra melompat-lompat kecil, berikan satu sendok kecil dari piringnya. Ingin suapi Sunghoon seperti papa katanya.
Sunghoon sampai tertawa dibuatnya. “Terima kasih sayangnya mami…” ia usap surai panjang si bungsu sebagai tanda syukur atas kasih sayang si kecil padanya.
“Mamii, kakak juga mau suapin..” Celine katanya tidak mau kalah dari sang adik. Sendok plastik miliknya diarahkan pada maminya untuk menyuapi. Sunghoon tersenyum, sama seperti Cyra ia menerima suapan dari si sulung itu dengan senang hati.
“Makasih ya sayang-sayangnya mami.”
“Kata Mbak Nila mami harus ke dokter ya? Nanti Celine sama Cyra sekolahnya sama Mbak Nila aja mami sama papi ke dokter yaa…”
Celine, si sulung itu selalu berikan perhatian yang sama seperti papanya. Umurnya sedang dimasa dimana ia selalu meniru perbuatan orang dewasa. Beruntung Jongseong bisa berikan contoh yang baik.
Sejak Celine katakan kalimat itu, Jongseong merasa sangat bangga padanya.
“Kakak sama adek nggak boleh nakal ya sama Mbak Nila hari ini.”
Celine mengangguk tersenyum begitu pula dengan Cyra yang melakukan hal yang sama karena meniru sang kakak.
Syukurnya tidak pernah usai, Sunghoon bahkan tak melakukan apapun pagi itu tahu-tahu sudah tinggal masuk saja ke dalam mobil untuk segera pergi. Segala persiapan dan perlengkapannya telah dibawa oleh sang suami tercinta.
“Yakin nggak ada yang ketinggalan pa?”
“Yakin sayang, tadi kan kamu lihat sendiri.”
Sunghoon mengangguk. Setelah mobil keluar dari pagar rumah, Jongseong turun kembali untuk menutup dan mengunci gerbang rumahnya.
Perjalanan ke rumah sakit tidak begitu lama sebab bangunan itu tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sunghoon dan Jongseong merasa beruntung bisa membangun rumahnya di perumahan tengah kota. Kemana-mana jadi dekat katanya.
Sunghoon bahkan belum selesai melepas sabuk pengaman, Jongseong bergegeas turun dari mobil untuk membantu sang istri membuka pintu mobil untuknya. Perlakuan kecil seperti ini yang menurutnya tak perlu, buat Sunghoon merasa dirinya menjadi prioritas.
“Aku bisa sendiri papa…”
“Kenapa ngelakuin sendiri kalo aku bersedia ngelakuin ini buat kamu?”
Hatinya yang sedang perasa buat Sunghoon nyaris ingin menangis ditempat. Namun ia berpikir tak lucu juga menangis di area parkir rumah sakit sepagi ini.
Tak perlu tunggu lama setelah dua pasang suami istri itu berjalan beriringan menuju dokter kandungan —mereka diminta untuk segera masuk karena tak ada lagi yang mengantri selain mereka.
“Selamat pagi, Sunghoon.” Sebuah senyum menyapa menyambut Sunghoon dengan Jongseong yang baru memasuki ruangan.
“Pagi dokter Kim.”
“Wah hari ini datang sama suami ya?”
“Iya dok, lagi cuti kebetulan.”
Selama saling bersalaman ketiganya saling menyapa. Sudah lama rasanya sejak Chaewon, dokter kandungan itu bertemu dengan sang suami. Sibuk terus katanya, pekerjaan menjadi pilot buat Jongseong tidak punya banyak waktu untuk bersama suaminya.
“Gimana keadaannya ibu hamil? Sehat?”
Sunghoon malu-malu, panggilan yang berhasil buat kedua pipinya merona seketika, ia mengangguk namun jawabannya seperti tak sinkron.
“Baik, tapi tadi pagi aku mual terus dok. Nggak biasanya, dulu juga waktu hamil Cyra nggak se-mual ini.”
“Sunghoon kecapean? Di rumah ngapain aja kegiatannya?” tanyai sang dokter sibuk dengarkan keluhan pasiennya.
“Di rumah udah nggak kerjain yang berat-berat kok. Aku masih masak sih buat anak-anak sama suami. Terus sapu kamar, soalnya sebisa mungkin aku masih gerak.”
“Sayang… aku nggak tau kamu masih beresin kamar. Kan udah ada mbak Nila.” Jongseong layangkan protesnya, terkejut karena istrinya yang tengah mengandung masih melakukan pekerjaan rumah.
“Iya tapi kan aku—”
“Jadi gini, kandungan Sunghoon kan udah mulai masuk ke trimester kedua. Sebisa mungkin untuk nggak melakukan pekerjaan berat. Kalau punya art atau babysitter lebih baik minta bantuan mereka untuk mengerjakan pekerjaan rumah aja.”
Sunghoon mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
“Mualnya gimana? Sama pusing juga? Makannya tepat waktu kan?”
“Mual, kalo siangan biasanya pusing dok. Makannya tepat waktu kok, tapi ya gitu sering lupa makan siang soalnya siangnya aku masak buat makan malem soalnya mbaknya kan pulang kalau jam 3.”
“Nah itu, mulai sekarang makannya jangan telat ya, harus 3 kali sehari.”
“Ya gimana dok, kalo siang tuh kan aku sering mual. Makannya jadi nggak enak. Makan nasi malah makin mual.” Sunghoon sedih. Keadaannya terus seperti itu sejak sebulan terakhir. Jongseong sudah berusaha membujuk namun sama saja, Sunghoon akan tetap tidak memakan makan siangnya.
“Okay, jadi morning sickness itu biasanya wajar ya kalau di trimester pertama, kalau sudah memasuki trimester kedua, itu artinya Sunghoon terlalu stress dan kecapean. Mulai sekarang jangan kerjain pekerjaan rumah, kalau mau gerak boleh jalan-jalan sore sama suami, selain melepas stress juga bagus buat kandungan. Kalau gitu sekarang ini saya kasih obat anti mual buat Sunghoon ya.. tenang aja obatnya aman buat ibu hamil kok.”
Chaewon berikan resep padanya sebelum sepasang suami istri itu akhiri konsultasi hari ini. Untuk tindakan lebih lanjut, Sunghoon juga menerima USG untuk melihat keadaan janin dalam kandungannya. Pun juga sebuah kejutan untuk keduanya, karena sang dokter bahkan telah dapat melihat jenis kelamin janin yang berusia 5 bulan itu.
“Wah selamat ya anaknya perempuan lagi.”
Sunghoon tersenyum penuh haru, pun juga dengan Jongseong yang semakin erat menggenggam tangan kanan kesayangannya.
“Makasih sayang..” bisiknya seperti doa.
[ ]
rain.