He likes you.

rain
3 min readSep 9, 2024

--

Jingga tahu hanya dari peluknya, Natala tak ingin lepaskan dirinya. Apalagi saat laki-laki kelahiran November itu tahu, Jingga akan segera meninggalkannya dari kota ini. Semua kenangan sejak kali pertama ia beranikan diri menjadi teman sang tunawicara bernama Jingga kini tiba-tiba seperti kembali terputar dalam kepalanya. Pada bagian tertentu Nata masih merasa gagal sebagai teman dalam melindunginya.

“Maafin gue selama ini belum bisa jadi temen yang baik buat lo.”

Jingga menggeleng, senyum begitu manis dilempar untuk menjawab pertanyaan Natala. “Kamu satu-satunya orang yang baik sama aku, Natala. And I’m so thankful for that.

“Lo pergi Jingga,” tangannya genggam Jingga. “You deserve a better life. Ikut sama bibi dan paman lo. Gue yakin mereka sayang sama lo kaya gue juga sayang sama lo.”

“Kamu gapapa kan, Nat? Cari temen baru ya, kamu itu cantik dan baik. Banyak yang mau temenan sama kamu kok kalau aku nggak ada. Kamu selalu bantuin aku banyak hal disini, jadi aku mau makasih banyak.”

Nata bukan satu-satunya yang berlinang air mata. Jingga usap pipi kirinya yang basah hanya dengan punggung tangannya. “Aku bakal baik-baik aja disana. Kamu juga bakal baik-baik aja disini.”

“Nanti tetep kabarin gue terus ya, Jiji…” kedua ujung bibir Natala ditarik kebawah tandakan sedih. Sementara itu Jingga mengangguk dan berjanji akan menepati janjinya untuk terus beri sahabatnya kabar.

Entah sudah berapa kali Natala peluk Jingga malam itu, laki-laki kelahiran November itu jelas belum rela untuk berpisah. Bahkan setelahnya pun saat Nata membantu Jingga untuk kemasi semua barang-barang miliknya ke dalam kotak kardus ia tetap menitikkan air matanya sampai buat Jingga terkekeh geli. Bukan kali pertamanya melihat Nata menangis, tapi ini kali pertamanya Nata menangis tanpa henti.

“Aku bakal baik-baik aja, nat…” Jingga usapi pipi Natala dengan sayang. Tak sangka malam terakhirnya disini menjadi sedikit menyenangkan dengan adanya Natala. Di dalam kamar yang sudah seperti rumah kecil di dalam rumah, lampu menyala terang malam itu, padahal sudah lewat pukul 12 malam, namun aktivitas masih terlihat dari jendela luar. Pandangan Jingga mengedar mengelilingi ruangan itu. Kecil namun tidak sempit, begitu nyaman ditinggali sampai Jingga pernah rela tidak keluar kamar untuk temui ayahnya, ralat ayah tirinya. Kalau tiba-tiba ingat fakta tentang itu rasanya hidup Jingga seperti dimainkan saja. Sudah berapa lama ia bertahan percayai suatu kebohongan ini. Ia bahkan tidak pernah bertemu atau bahkan berkunjung ke makam ayah kandungnya sendiri.

“Udah kabarin Adam? Katanya dia nggak berhenti chat lo terus.”

Jingga sempat melirik ponsel yang terus menyala tunjukkan deretan bubble pesan yang terkirim tak henti-hentinya, semuanya dari Adam Anggara. Kemudian ia tersenyum tipis sebelum ia menggeleng. “Kayanya lebih baik kalau Adam nggak tahu aja deh..”

“Kenapa gitu?”

Jingga kemudian mengangkat kedua bahunya. “Nggak mau Adam khawatir lagi. Lagian Adam bukan siapa-siapa yang harus tahu tentang hidup aku. Sudah cukup aku repotin Adam dengan tinggal di apartemennya. Nggak mau lagi.” Jingga menggeleng pada akhir kalimat, yakinkan bahwa ia benar mengatakan bahwa ia tak ingin lagi repotkan Adam terkait masalah hidupnya.

“Tapi Ji–”

“Aku juga tahu Adam lagi suka sama orang lain, kan?”

“Jingga! Adam suka sama lo.”

[ ]

rain

--

--

rain
rain

Written by rain

ֶָ֢ 𝒚𝒐𝒖 𝒂𝒓𝒆 𝒘𝒆𝒍𝒄𝒐𝒎𝒆 𝒕𝒐 𝒕𝒉𝒆 𝒓𝒊𝒑𝒑𝒆𝒅 𝒑𝒂𝒈𝒆𝒔 𝒐𝒇 𝒎𝒊𝒏𝒆.

No responses yet