Happiest birthday, the brightest star.

rain
5 min readDec 9, 2024

Jingga sibuk siapkan ini itu, tugas yang tidak ada habisnya seakan-akan mengejar untuk segera diselesaikan. Tak pernah terpikirkan olehnya kalau semester kali ini cukup buatnya menguras tenaga habis-habisan. Namun jika ditanya bagaimana perasaannya, Jingga selalu menyebutnya dengan senang hati. Sebab kalau bukan sekarang lalu kapan lagi ia akan merasa sesibuk ini.

“Lebih baik daripada aku harus tidur di rumah sakit. Aku punya banyak hal yang aku lakuin diluar sini. Makasih udah ajakin main kesini lagi ya..”

Jingga tahu, tempatnya duduk bersama Natala adalah kafe tempat dimana Adam bekerja. Sebagai barista dan juga si pemain live musik pada hari tertentu. Begitulah caranya Adam menghidupi dirinya.

Jingga tahu namun matanya tidak ingin menoleh kesana kemari mencari keberadaan kekasihnya itu. Tidak mau ganggu pekerjaannya. Sedangkan Natala senang, Jingga bukan orang yang tak dapat hargai keberadaan orang lain. Sejak tadi ia terus utarakan cerita-cerita menarik dengan bahasa isyarat kepadanya. Sadar bahwa mungkin ini adalah kali terakhirnya dapat tukarkan cerita pada seorang Nata.

“Jingga, makasih udah mau jadi temen aku ya..”

Natala berusaha sekuat tenaga tak jatuhkan air mata. Hari bahagia Jingga, harus tanpa tangis. Jingga mengangguk, senyumnya manis. Tepat setelah itu, Natala mengangkat satu box kecil berisi kue kecil dengan dua angka kembar diatasnya.

Dua puluh dua, api kecil di atasnya menyala. Natala tepukkan tangannya pelan sambil nyanyikan lagu ulang tahun untuknya.

Dua puluh dua, api kecil di atasnya tampak sedikit bergoyang karena angin. Kalau bisa bersuara, mungkin Jingga akan tertawa sebahagia mungkin untuk kejutan tidak terduga ini. Kalau bisa bersuara, Jingga akan aturkan ribuan terima kasih untuk Natala yang telah repot-repot belikannya kue hari itu.

Dua puluh dua tahun, Jingga sudah hidup dengan banyak sekali penderitaan di hidupnya, penuh penantian kepada sang bunda, penuh kekecewaan yang mau tak mau harus dirasakan, penuh luka atas tinggalnya. Namun Jingga masih merasa beruntung, meski dua puluh dua tahun hidup tanpa suara yang dapat ia aturkan, ia miliki orang-orang disekitarnya. Ia miliki Bunda, ia miliki Nata, Adam, Niko, Paman dan bibinya serta Delima.

Jingga ingat betapa perih ulang tahun ke 21 nya malam itu setelah perginya dengan Nata. Ia ingat betapa sakitnya tampar yang ia terima dari Permadi kala itu. Meski sebesar apapun ia berusaha melupakannya, luka dan rasa sakit itu masih terus membekas dalam hatinya.

“Jingga you have to blow the cand– YEAY!! Happy birthday, my sunset.” Natala sempat ingatkan Jingga untuk meniup lilinya, sebab entah doa apa yang dirapalkan dalam hatinya, Jingga memejamkan matanya sedikit lebih lama dari biasanya.

“Selamat ulang tahun ke dua puluh dua ya, Jijii… terima kasih karena udah mau bertahan sejauh ini sama gue. Jii, I actually don’t know how to live without you. Please, sembuh ya.. gue bakal selalu ada buat lo. Nggak cuma tahun ini, tapi juga di ulang tahun lo yang berikutnya, selanjutnya, dan seterusnya.” Genggam tangan Natala semakin erat. Jingga nyaris jatuhkan air mata ketika dengar harapan sederhana Natala untuknya. Ia mengangguk, senyum tulus diberikan untuk yakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa bertahan lebih lama lagi.

Natala geserkan bangkunya sendiri lebih dekat dengan Jingga. Bersamaan dengan itu, seluruh pandang mata tertuju di atas panggung, tampilkan seorang Adam di bawah lampu spotlight — duduk manis memangku gitar kesayangannya. Seketika gemuruh tepuk tangan terdengar penuhi kafe. Sedikit ingatkan Jingga pada hari dimana ia jatuh cinta pada Adam dan suara yang ada disekitarnya kala itu. Pertemuan keduanya setelah di perpustakaan.

“Selamat malam!” Adam menyapa seluruh pengunjung dengan suara dan bahasa isyaratnya. Jingga terkejut, untuk apa ia lakukan itu. Seulas senyum manis ditujukan padanya, Jingga tahu saat Adam menatap dirinya. Seakan seluruh perhatian telah tersita hanya padanya.

“He’s talking to you..” bisik Natala sempat menyikunya pelan. Jingga terpaku, pipinya merona saat tahu Adam tak menatap siapapun kecuali dirinya.

“Thank you for gathering here tonight to celebrate a truly special occasion — the birthday of someone very dear to me.” Adam belum berhenti menatap Jingga saat itu. Microphone kembali diarahkan di depan mulutnya.

“Tonight is not just about the candles, the cake, or the laughter, though they are all wonderful. It’s about love, appreciation, and making unforgettable memories.” Tatapannya kian melembut, sebab Adam tengah menatap orang yang paling dicintai di hidupnya saat itu. “Happiest birthday my dearest, Jingga Alsava. The brightest star. My forever love.”

Puluhan pasang mata kini tertuju padanya, dan dalam sekejap, suasana ruangan berubah menjadi hangat. Ketika namanya terdengar, Jingga jatuhkan air matanya. Ada sesuatu yang sangat indah tentang perhatian sederhana ini, sesuatu yang membuatnya merasa dihargai, diingat, dan dicintai. Belum pernah ia merasa sangat spesial di hari ulang tahunnya seperti ini. Belum pernah orang lain menganggapnya sebagai sesuatu yang layak dapatkan perayaan atas bertambahnya usia. Belum pernah Jingga merasa sehangat ini ketika Adam ucapkan kalimatnya dengan suara dan bahasa isyaratnya.

“Jingga, I wrote this song specially for you and this isn’t just a song — it’s a gift, straight from the heart, for you, who lights up my world every single day. I hope you have the most beautiful birthday this year. I love you, I can’t even tell how much.”

Jingga terharu. Air mata terjatuh karena bahagia. Semua orang bersorak untuknya, Natala memeluknya dari samping dengan hangat ucapkan ribuan kata harap dan selamat ulang tahun untuknya.

Bersamaan dengan itu, Adam petik gitarnya dengan merdu, satu padukan sebuah nada menjadi sebuah lagu. Jingga pernah mendengarnya sekali, saat ia mengira lagu ini ditujukan pada orang lain. Saat kesalahpahaman itu masih terjadi.

“I’ll leave my heart with your air

So let me fly with you

Will you be forever with me?”

Pada akhirnya laki-laki itu miliki kesempatan untuk selesaikan lirik terakhirnya. Seakan nyanyikan lagu itu hanya untuk Jingga, netra terus terpaku padanya. Adam naikkan ujung bibirnya, bersamaan dengan gemuruh tepuk tangan dari sekitarnya.

Beberapa pasang mata ikuti kemana arah Adam menatap. Jingga berdiri dari duduknya, perlahan berjalan mendekat, hampiri Adam yang masih berada di atas panggung.

“Will you, Jingga?” Masih di atas panggung, Adam berlutut di hadapan Jingga, ia meraih kedua tangannya. Tinggi panggung buat pandangan mereka sejajar. Dengan sangat jelas Adam dapat melihat bagaimana Jingga berkaca-kaca.

“You might live in your quiet world for twenty two years old, Jingga.. But here I am, willing to give you all the voices I have. So you won’t feel alone. So, will you be my forever?”

Jingga hidup dalam sepi yang ia rasakan sendiri selama dua puluh dua tahunnya. Semua suara seakan telah tersita dalam dirinya. Ia hanya bisa terdiam. Banyak sekali kesempatan untuk mengatakan sesuatu yang ia inginkan terlewat begitu saja. Tidak banyak yang memahami dirinya ketika berbicara dengan sebuah isyarat. Jingga dengar banyak hal memang, namun suara itu hanya berputar di dunianya yang sepi. Ketidakmampuan untuk berteriak dan menolak adalah hal paling menyakitkan yang pernah ia rasakan. Ia tidak bisa menolak ketika seseorang berusaha menghancurkan hidupnya, ia tidak bisa berteriak ketika seseorang mencoba menyakitinya.

Jingga nyaris tidak mengerti apa arti hidupnya sendiri ketika ia tidak memiliki kemampuan yang sama dengan orang lain. Mungkin semua akan sama ketika dirinya tidak ada di dunia ini, pikirnya.

Dan pikiran itu tak lagi terjadi semenjak ia miliki Natala, semenjak Natala kenalkan dirinya dengan Adam, semenjak cinta datang berikan sapa pada masa mudanya, semenjak ia senang dengar suara gitar, semenjak semuanya rumit dan ia harus pergi tinggalkan keduanya. Semenjak ia bertemu dengan Niko pada pelariannya. Semenjak Adam mencintainya, semenjak lagu itu ditulis untuknya. Semenjak saat itu ia hanya ingin terus hidup.

Jingga mengangguk dua kali, sementara air mata tak dapat terbendung ia memeluk Adam dengan sangat erat. Jika ia miliki pertanyaan apakah ia ingin bersama orang yang dicintainya lebih lama lagi, maka Jingga tidak bisa ragu untuk menjawab iya. Meski ia tahu mungkin waktunya tersisa sebentar saja.

[ ]

rain

--

--

rain
rain

Written by rain

ֶָ֢ 𝒚𝒐𝒖 𝒂𝒓𝒆 𝒘𝒆𝒍𝒄𝒐𝒎𝒆 𝒕𝒐 𝒕𝒉𝒆 𝒓𝒊𝒑𝒑𝒆𝒅 𝒑𝒂𝒈𝒆𝒔 𝒐𝒇 𝒎𝒊𝒏𝒆.

No responses yet