﹏
Setibanya di rumah sederhana milik Juna, Jingga Alsava belum bertemu dengan Delima Amalia hari itu. Pukul 10 pagi, gadis kelahiran November itu masih berada di sekolahnya. Ia titipkan pesan kalau sepupunya yang ditunggu-tunggu tersebut datang nanti ia ingin Jingga bebas saja meminjam sepeda miliknya untuk jalan-jalan.
“Nanti Delima nyusul ke pantai katanya kalau pulang sekolah hari ini cepat.” Begitu kata Mentari pada Jingga yang sudah bersiap mengayuh sepedanya.
“Jingga tahu jalannya? Mau paman antar?” tawari Juna sebelum Jingga benar-benar pergi. Iya, begitu sampai Jingga sudah tidak sabar ingin kenali sekitarnya. Lingkungan rumah yang belum pernah ia kunjungi, ia jelajahi sendiri.
Jingga tersenyum, ia menggeleng. “Aku mau jalan-jalan sendiri, nanti bisa pakai maps kalau nyasar.” Jingga tunjukkan ponselnya pada Juna.
Juna mengangguk, “kalau gitu hati-hati ya..”
Tidak disangka-sangka energi yang sempat berkurang selama perjalanan menuju kota Solo kini perlahan mulai kembali setelah Jingga mengayuh sepeda sedikit lebih cepat, biarkan angin berhembus menarikan tiap helai surai hitam kecoklatan miliknya, biarkan matahari hangatkan kulit di balik pakaiannya. Saat itu, entah kenapa semua luka rasanya pulih satu persatu. Jingga bisa tersenyum.
Beberapa saat kemudian Jingga sudah dapati dirinya duduk diatas pasir putih, pusatkan ekstra perhatiannya pada kertas gambar yang dibawa, gambarkan pemandangan yang ada di hadapannya dengan sama indahnya.
Sudah lama sekali rasanya Jingga tidak melakukan hobinya ini, hampir lupa bahkan kalau ia punya bakat menggambar. Setiap gores di atas kertas buat hatinya jauh lebih tenang, kepalanya jauh lebih jernih untuk berpikir dan semua terasa lebih jelas untuknya.
“Hai!”
Suara asing terdengar menyapa, entah siapa namun Jingga tahu sapaan ramah itu datang untuknya. Sebab sejauh mata memandang ia nyaris tidak menemui siapapun kecuali dirinya sendiri di tepi pantai. Lagipula hari itu ia duduk di area yang tidak terlalu banyak orang berlalu lalang.
Sementara Jingga mencari suara, ia menoleh sedikit ke samping untuk temukan seseorang yang tidak begitu asing di matanya. Nyaris lupa, namun senyumnya itu buat Jingga ingat.
“We met in the station. Inget aku nggak?”
Jingga sedikit mengernyit, ingat-ingat kejadian memalukan yang terjadi beberapa jam yang lalu. Kemudian ia mengangguk tanda bahwa ia mengingat segalanya.
“Niko. Kamu?”
Jingga sambut uluran tangannya sebelum kembali dilepaskan dan menuliskan sebuah nama di atas kertas gambarnya.
“Jingga?” Niko pastikan tulisan yang dibacanya benar. Jingga mengangguk, tersenyum begitu manis dan kembali menuliskan diatas kertas.
“Aku bisu.”
Niko tersenyum. Ia terkekeh sedikit kemudian menjawab, “aku tahu.”
“Tahu darimana?” tulis Jingga kembali agak terkejut sebenarnya.
“Di stasiun tadi aku lihat kamu ngomong pakai bahasa isyarat sama dua orang yang jemput kamu.”
“Itu paman sama bibi.”
Niko mengangguk, membentuk huruf o kecil pada bibirnya.
“Suka gambar ya?” karena jujur saja sejak tadi Niko sudah perhatikan Jingga menggambar sebelum ia memutuskan untuk menghampirinya.
Jingga malu-malu namun tetap tersenyum ia mengangguk.
“Sering gambar di pantai?”
Jingga menggeleng, lalu sibuk lagi tuliskan sesuatu di atas kertasnya, “aku baru pertama kali kesini.”
“Oh.. welcome, then.”
“Makasih!” Jingga senang diucapkan selamat datang, ia tak sadar sampai ucapkan rasa terima kasihnya melalui bahasa isyarat.
Keduanya kembali terdiam. Pertemuan pertama yang mengarah ke pertemuan kedua. Keduanya sama-sama tidak tahu kalau mereka akan bertemu lagi disini. Jingga juga tidak tahu kalau ia akan mendapatkan teman secepat ini.
“Oh iya.. gimana roda koper kamu yang copot? Udah di benerin?”
Jingga menggeleng, “belum sempat. Aku baru sampai rumah paman beberapa jam yang lalu.” Tulisnya.
“Oh jadi kesini di rumah paman?”
Jingga mengangguk kali ini.
“Liburan ya?”
Jingga menggeleng.
“Bukan? Berarti lagi ada acara keluarga?”
Jingga menggeleng, biarkan Niko berikan tebakannya sendiri sebelum ia beritahu yang sebenarnya.
“Bukan juga? Terus apa dong?”
Jingga mulai tuliskan sesuatu di atas kertasnya namun tiba-tiba saja Niko menahannya.
“Tunggu tunggu let me guess..”
Jingga terkekeh manis kemudian mengangguk.
“Kalau kesini ke rumah paman, terus baru sampai langsung ke pantai, berarti kamu lagi melarikan diri ya?”
Melarikan diri. Tak pernah terpikirkan oleh Jingga, kata-kata melarikan diri sangat cocok digunakan untuk keadaannya yang sekarang. Memang benar, Jingga bisa saja hadapi traumanya di rumah itu, Jingga bisa saja datangi Permadi di dalam bui, Jingga bisa saja temui Nata, dan ia bisa saja beri kesempatan untuk Adam. Namun ia memilih untuk diam dan pergi tinggalkan semua tanda tanya yang mulai terbengkalai tanpa jawaban. Ia pergi jauh dari orang terdekatnya tanpa ada niat untuk kembali.
“Hey! Jingga? Kok ngelamun?”
Jingga baru sadar, ia sampai lupa kalau saat ini ia sedang berada dalam pelariannya. Debur ombak terdengar, aroma daun pandan semerbak penuhi hidungnya, begitu manis dan segar. Jingga terlalu senang dengan pelarian kali ini.
“Bisa disebut gitu. Iya, aku melarikan diri. Kalau kamu?”
“Aku? Lagi ngerjain project kampus buat nulis artikel.”
“Tentang apa?”
“Kamu.”
Jingga mengernyit, ia melirik kembali lembar kertas yang dipakainya menulis, takut ada yang salah dengan pertanyaannya. Namun semuanya baik-baik saja dan ia masih tetap tidak mengerti.
“Aku sebenarnya nggak tahu mau tulis apa di artikel ini. Apa yang mau aku liput dan sepertinya nggak ada hal yang menarik buat dibahas sebelum kamu ada disini. Jadi, boleh aku minta kamu sebagai objek artikel yang aku tulis?”
Jingga terlihat ragu, meski Niko tampak sangat meyakinkan, ia percaya tulisannya tidak akan seburuk yang ia kira.
“Memangnya apa yang menarik dari aku?” Tulis Jingga kembali.
“Kamu? Cantik dan cerdas.” katanya, Jingga sampai sempat salah tingkah sendiri dibuatnya. “Cerita tentang Pantai Nampu sebagai tempat pelarian orang-orang seperti kamu, mungkin bakal menarik buat dibaca.”
Jingga terdiam, sungguh ia tidak punya jawaban. Semuanya terlalu tiba-tiba.
“No worries, cuma artikel santai. Aku juga nggak akan maksa kamu buat ngelakuin ini.”
“Boleh kalau aku pikir-pikir dulu?” tulis Jingga di atas kertasnya lagi yang saat itu sudah mulai penuhi satu lembar.
“Boleh dong.. take your time. Aku masih lama disini. Makasih ya, by the way.. Aku pikir orang-orang nanti bakal tertarik tentang kamu dan pantai ini. Karena sampai sekarang juga aku nggak lihat perbedaan.”
“??” Jingga tidak mengerti hingga ia tuliskan dua tanda tanya di atas kertasnya.
“Sama-sama indah. Kamu, pantainya.”
Jadi bohong kalau Jingga tidak merah karena malu. Beberapa saat kemudian Niko meraih kertas dan pensil di tangan Jingga dan menuliskan deretan angka diatasnya.
“Ini nomor ku. Nanti kabarin ya kalau udah setuju sama tawaran aku. It was nice meeting you here, Jingga.. Aku pamit dulu ya, kita bisa selalu ketemu di pantai kalau kamu mau.”
Terakhir sebelum Niko benar-benar pergi, ia ucapkan pamitnya dalam bahasa isyarat. Jingga sampai terkejut dibuatnya. Jadi selama ini, ia hanya dibodohi dengan terus berkomunikasi menggunakan pensil dan kertas.
Niko sampai tertawa sendiri melihat kebingungan di wajahnya. Setidaknya itu untuk pertemuan kedua mereka.
[ ]
rain.