“don’t you think our relationship deserve a second chance?” — Frenemies

rain
7 min readDec 5, 2023

--

Jennifer berhenti parkirkan mobilnya di area parkir cafe tempat dimana ia mengantar sang adik. Wanita kelahiran Oktober itu tahu semuanya tentang hubungan sang adik dengan mantan kekasihnya. Ia tahu hubungan Skala dan Dylan yang tidak cukup baik sejak setahun ia meninggalkannya untuk bekerja di US. Jennifer selalu ada disana untuk sang adik pun saat ini ia putuskan untuk mengantar Skala dengan alibi ia juga ingin bertemu dengan teman-temannya.

Jennifer berikan tatapan sendu untuk sang adik. “Kalau nggak mau ketemu tunggu di mobil aja Kal. Kakak nggak lama kok, atau kamu mau duduk sama kakak aja?”

Skala menggeleng, “aku ngerasa aku harus ketemu Dylan kak.”

Okay then, kalo udah selesai kamu bisa tunggu kakak di mobil atau nanti ke meja kakak aja.”

Kalimat Jennifer cukup jelas buat adiknya mengangguk paham.

Skala melangkahkan kakinya mendekat, begitu pintu kafe terbuka aroma lembut bermacam-macam kudapan milik kafe tersebut dengan ramah menyapa indra ciumnya. Biarkan kepalanya menjelajahi masa lalu saat ia datang ke kafe tersebut dengan perasaan bahagia. Skala dan Dylan yang selalu melabeli kafe tersebut dengan sebutan “our favorite place” membuat keduanya selalu tidak asing ketika kembali mendatangi tempat tersebut. Skala tak langsung mencari keberadaan Dylan, hatinya seketika terenyuh perhatikan tiap-tiap sisi kafe yang telah akrab dalam pikirannya. Senyum dan sapa pegawai yang tidak pernah berubah semenjak setahun yang lalu. Interior yang minimalis dan rapi, serta lampu yang menyala tidak terlalu terang pun juga tidak terlalu gelap membuat kesan kafe itu terlihat lebih hangat. Salah satu yang Skala senang perhatikan dari kafe itu adalah hiasan bunga pada tiap pojok ruangan. Ia selalu perhatikan bunga yang setiap minggunya selalu diganti, menjadikannya ikon dari kafe tersebut.

“Kak Skala?”

Skala tengah sibuk berpikir, tengah sibuk hatinya dibuat larut dalam suasana yang tidak berubah sama sekali dari kafe tersebut. Kini sebuah suara menginterupsi lamunannya. Terdengar menyapa dirinya yang masih berada tak jauh dari ambang pintu masuk kaca.

“Hai kak! Welcome again!” gadis itu kemudian menyambutnya setelah ia perhatikan betul bahwa laki-laki yang baru saja datang ke kafe tempatnya bekerja itu adalah Skala — pelanggan setianya dulu bersama Dylan.

Chevina, tertulis di tag nama yang menempel di apron coklat gelap milik pegawai kafe tersebut. Gadis itu tersenyum bulan sabit senang melihat kedatangan pelanggan favoritnya itu. Skala pun jadi tertular senyumnya.

“Chevina.”

“Kak Skala apa kabar? Kok jarang datang kemari?”

Skala sudah lama tidak pernah bertemu dengannya, namun entah mengapa ada sesuatu yang buat dirinya merasa tidak asing dengan sapaan Chevina padanya. Ia senang dengan pembawaan ceria sang pelayan kafe tersebut. Gadis muda itu terus semakin buatnya tidak asing dengan keberadaannya.

“Iya lagi banyak yang diurus akhir-akhir ini Chev. Kabarku baik. Kamu apa kabar Chev?”

“Aku? Baik kak. Oh iya, kak Skala nggak dateng bareng sama kak Dylan ya? Tumben. Itu orangnya sudah datang duluan tadi ada di bangku outdoor belakang.”

Skala ingat betul. Kafe yang tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil itu memiliki tiga tempat untuk para pelanggan bersantai menikmati makanan dan minuman yang dipesannya. Ada bangku-bangku yang terletak di depan luar ruangan, ada bangku-bangku yang ada di dalam, pun juga ada yang terletak di bagian belakang. Skala ingat betul bagian belakang kafe adalah spot favoritnya. Duduk di taman belakang yang disulap seakan menjadi kafe membuatnya merasa berada di dunia mimpi. Kafe itu selalu indah, bahkan saat Skala tiba di sana, berdiri menatap Dylan yang sudah duduk manis menunggunya di salah satu meja.

Skala berdebar, entah debar apa yang ia rasakan saat itu, hatinya kalut dengan suasana yang tak asing. Pun keberadaan Dylan membuatnya seakan kembali kepada masa-masa dimana hatinya masih baik-baik saja. Ia menarik nafas dalam sebelum putuskan untuk menghampiri lak-laki yang begitu ia rindukan keberadaannya.

Dylan terlihat seperti Dylan yang dikenalnya bersamaan dengan kakinya yang terus melangkah mendekat. Penampilan semi formal dengan kemeja coklat muda itu membuat Dylan terlihat jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Skala tak henti perhatikan tiap garis wajahnya dengan teliti, kacamata yang bertengger di hidungnya dan tatanan rambut yang selalu rapi. Dengan begitu ia sadari bahwa Dylan dan Jay adalah dua orang yang berbeda.

“Kala..”

Dylan, seperti yang dikenal Skala, ia akan dengan sukarela menarik kursi untuknya duduk. Melayani Skala dengan senang hati seperti yang biasa ia lakukan dulu. Namun hari itu, Skala tak pikir panjang bergegas inisiatif menarik kursinya sendiri, tunjukkan bahwa dirinya sudah terbiasa tanpa keberadaannya selama ini.

Hal pertama yang Skala dapati saat duduk di kursinya ialah sepiring fudgy brownies dengan segelas ice vanilla latte yang telah tersaji di hadapannya. Hidangan favoritnya, Skala sadari hari itu dengan pasti. Dylan ingin mencoba untuk kembali mendapatkan perhatian darinya.

“It’s been so long since I met you in this cafe, Dy…” Skala tersenyum, meski jauh dalam hatinya ia rasakan perih. Skala jelas kecewa atas perlakuan Dylan yang meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. “You know what, gue nggak pernah lagi dateng di cafe ini setelah lo pergi. Where have you been anyway?” Ia tanyakan pertanyaan itu seakan ia telah siap dengan jawabannya.

“I’m so sorry, Skala. I know you deserve an explanation for why I’ve been distant for so long. But I’ve been dealing with a lot of stuff and I couldn’t handle talking to you about it.”

Skala tidak mengerti apa yang harus dikatakannya setelah itu. Dylan bahkan masih tak berikan alasan yang jelas mengapa ia pergi tinggalkannya. Satu hal yang ia tahu pasti, Dylan mengatakan semua itu dengan tulus. Maka ia kembali menarik nafas berusaha buat dirinya tidak marah.

“But Dylan, I was worried about you! I didn’t know what was going on or why you just disappeared. Couldn’t you have at least said something? Why didn’t you tell me where you were going? Kenapa lo milih buat pergi tanpa alasan gini.”

Perasaan lega datang perlahan memenuhi dirinya, Skala senang bisa katakan hal yang selama ini ia simpan. Hal yang selalu ingin ia sampaikan pada Dylan.

“Aku tahu aku salah, Ska… aku nggak seharusnya gini sama kamu.” Dylan menundukkan kepalanya. Perasaan menyesal itu bergumul menjadi satu di dalam hatinya. Memenuhi setiap celah kosong pada tiap raganya. Dylan tidak berhenti salahkan dirinya sendiri dalam hati.

Namun sementara itu, Skala terlihat begitu serius. Tidak ingin buang waktunya sia-sia hanya untuk pertemuan penuh omong kosong. Jujur saja memandang Dylan dengan segala rasa penyesalannya tidak sama sekali membuat hatinya lega. Jauh di dalam sana ia masih tidak tega. Ia tahu Dylan selalu punya alasan untuk pergi dan kembali, hanya saja Skala dapati waktunya tidak pernah tepat. Ia sadar bahwa hubungannya dengan Dylan hanya soal waktu, dan mereka selalu terlambat untuk itu.

“Something terrible happened to my family, mom and dad passed away. I have to move out in the US. Papa yang minta aku buat handle semuanya sebelum dia pergi. I was lost, Kala. I don’t wanna go and leave you, but I have to save my family. Kala, if I can turn back the time. I’ll choose to explain everything to you. Aku cuma nggak mau buat kamu khawatir, aku nggak mau kamu lihat aku dengan keadaan yang putus asa.”

“But you were my boyfriend Dylan. We’ve been going through a lot before this. You can tell me everything. Kenapa lo nggak mau cerita sama gue?” Skala nyaris buat dirinya ditelan emosi bulat-bulat. Nafasnya sedikit tersengal, beruntung ia masih dapat mengendalikan perasaannya. “I’m sorry to hear about your parents.” Skala pelankan kembali nada bicaranya, tenangkan hatinya yang mulai penuh dengan perasaan tak nyaman berkat emosinya.

“I was so stupid back then.” Dylan pandangi Skala di hadapannya. Bola mata itu, Skala tahu betul Dylan tengah dipenuhi dengan rasa bersalah. “Skala, I know it’s been a while since we last saw each other and a lot has happened. I made some mistakes and I know things ended on a bad note between us, but I wanted to talk to you and see how you’re doing. I still care about you and I’d like to work on putting all this behind us and rebuilding our relationship. Do you think that’s something we could work on together?”

Skala berhenti berpikir. Kepalanya pusing semenjak pertanyaan itu diberikan kepadanya. Sebab dugaannya benar. Dylan benar-benar secara tidak langsung mengajaknya membenahi sesuatu yang telah hancur. Mengulangi semuanya dari awal dengan alibi untuk memperbaiki hubungan mereka. Namun Skala tahu betul tali yang telah terputus tidak dapat tersambung dengan sempurna lagi seperti sedia kala. Pun hal yang sama ia percaya terjadi pada hubungannya dengan Dylan saat itu.

“I don’t think I need to answer that question Dylan.” Skala lelah. Bayangkan ia akan mengiyakan segalanya untuk Dylan. Mengikuti semua inginnya laki-laki kelahiran April itu dengan sukarela tanpa ia pikirkan lebih panjang. Skala telah menghabiskan terlalu banyak energinya untuk menunggu sesuatu yang tidak pasti.

“Don’t you think our relationship deserves a second chance?”

Skala tidak tahu bahwa ia akan dihadapkan pertanyaan ini. Setelah mendengar semua alasan yang diberikan padanya hari itu. Ia bahkan tidak dapat menjatuhkan semua kesalahan hanya pada Dylan. Memang benar ia kecewa, namun bukankah beberapa hal pantas untuk mendapatkan kesempatan keduanya?

Skala memang lelah, sudah terlalu banyak habiskan semua cintanya hanya pada Dylan. Namun hadirnya memang selalu saja tidak pernah tepat. Sometimes, Dylan is the right person for him but he comes at the wrong time. Maka Skala hembuskan nafasnya untuk kali itu, ia bertanya,

“Can I trust you for this?”

[ ]

rain.

--

--

rain
rain

Written by rain

ֶָ֢ 𝒚𝒐𝒖 𝒂𝒓𝒆 𝒘𝒆𝒍𝒄𝒐𝒎𝒆 𝒕𝒐 𝒕𝒉𝒆 𝒓𝒊𝒑𝒑𝒆𝒅 𝒑𝒂𝒈𝒆𝒔 𝒐𝒇 𝒎𝒊𝒏𝒆.

No responses yet