—
Katakan Gio panik. Ia bahkan lupa makan malam karena terus memikirkan Naka berjam-jam semenjak ia tahu malam itu Naka memutuskan untuk lembur. Ia mengendarai mobil nyaris dengan kecepatan yang nyaris di atas rata-rata, untuk saat ini yang dipikirkan bukan nyawanya lagi tapi Naka seorang. Pikirannya sempat kacau namun sebisa mungkin pandangan Gio lurus ke depan menatap jalanan malam yang mulai sepi kendaraan. Jantungnya berdebar sangat kencang sebab takut. Ia sangat takut apa yang pernah terjadi di mimpinya akan benar terjadi. Gio akan marah pada dirinya sendiri jika itu terjadi, mungkin hal paling parah adalah ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak sanggup menjaga Naka.
Kacau sudah isi kepalanya. Ia menghampiri keberadaan Jeremy yang sudah lebih dulu membawanya ke unit gawat darurat.
“Gi, sorry… gue udah suruh Naka pulang dari tadi sore tapi masih tetep aja anaknya ngeyel pengen kerjain semua. Sumpah gue nggak akan biarin Naka lembur kalo tahu kondisinya kaya gini…”
Gio tahu itu, semua orang benar-benar membantunya untuk menjaga Naka. Tapi ia lebih tahu sikap keras kepala Naka. Maka ia mengangguk mendengar penjelasan Jeremy baru saja.
“Makasih udah cepet-cepet bawa Naka kesini.” katanya.
Gio memutuskan untuk duduk beberapa menit menunggu dokter memeriksa keadaan Naka. Dengan jantung yang berdebar panik dan pikiran yang tidak bisa tenang. Gio terus mengepalkan tangannya berdoa, berharap semoga kejadian buruk tidak menimpa Naka dan dirinya. Namun begitu ia mengepalkan tangan, Gio merasakan deja vu yang begitu sulit ia terima. Keadaannya hampir sama seperti mimpi yang ia alami.
–
Gio memasuki ruangan diikuti dengan Jeremy di belakangnya. Naka sempat sedikit takut dengan kedatangan Gio, lalu sebuah perasaan bersalah muncul begitu saja dalam hatinya. Ia tahu betul tatapan kecewa bercampur khawatir itu ada dalam sorot mata Gio.
“G-gio…” ucapnya lirih memanggil Gio. Jeremy yang berdiri di sisi lain sangat tahu betul suasana dari kedua pasangan ini. Maka sebelum ia terlibat jauh, ia segera meletakkan barang-barang Naka di atas meja termasuk dengan jaket yang dipakainya ke kantor pagi tadi.
“Naka, ini barang-barang kamu kak Je taruh sini ya… Kak Je mau pamit balik kantor dulu soalnya tadi belum di beresin semua.”
Gio menatap Naka yang tersenyum pada Jeremy dengan tatapan datar.
“Makasih ya kak…”
“Cepet sembuh naka.”
Iya, sekarang bahkan kepergian Jeremy hanya menyisakan mereka berdua yang saling bertukar pandang.
“Gio, Naka nggak apa-apa kok…”
“Stop bilang Naka gapapa kalo sebenarnya Naka lagi nggak baik-baik aja.” potong Gio tidak memberikan kesempatan untuk Naka meminta maaf lagi.
“Maafin Naka…” meski begitu ia tetap mengatakannya.
“Mau sampe berapa kali Naka bilang maaf tapi nggak pernah dengerin Gio.”
Gio dengan suaranya yang sedikit bergetar kini menggenggam tangan Naka dengan kedua tangannya yang dingin. Naka terdiam begitu melihat Gio mulai menunduk dan menangis.
“Gio… Naka cuma kecapean aja kata dokter. Naka sama adek nggak apa-apa kok.. G-Gio jangan nangis.” Naka mengusap surai Gio kebelakang sekali. Ia tidak tahu kalau perbuatannya membuat Gio benar-benar khawatir sampai seperti ini. Naka rasanya juga ingin menangis sekarang juga.
“Gio kenapa?”
Gio menggeleng lalu menjawab, “Gio takut… Gio takut kehilangan Naka. Gio nggak mau Naka kenapa-napa.”
Kepalanya terus memutar kejadian mimpi buruk itu berulang kali layaknya rekaman rusak di dalam kepala. Gio tidak dapat lagi menahan tangisnya.
“Naka nggak akan tinggalin Gio kok. Naka janji sama Gio.”
Janji untuk tidak saling meninggalkan, Naka juga sempat mendapatkan deja vu sekilas atas kalimat yang ia ucapkan baru saja. Ia juga memahami bagaimana sosok Giorafsan benar-benar tidak ingin kehilangannya.
“Naka…” panggilnya usai sesi menangis itu berakhir. Gio telah memikirkannya dengan bulat untuk memutuskan sesuatu.
“Hmm?”
“Gio mau Naka pulang ke rumah bunda dulu untuk sementara waktu.”
Naka agak terkejut mendengarnya. Sebenarnya apa yang sedang direncanakan Gio saat ini, kenapa tiba-tiba ia menyuruhnya untuk pulang ke rumah bunda.
“Kenapa?”
“Gio nggak mau Naka sendirian lagi di apartemen waktu Gio masih di kantor. Mulai minggu depan Gio bakal banyak lembur sama papa. Gio nggak mau kalo nanti Naka nggak ada yang jagain.”
Naka cemberut sedih setelah mendengar keputusan Gio. “Kok gitu?” katanya protes. “Naka nggak mau ninggalin Gio sendirian di rumah.” Naka menggeleng. “Naka nggak mau pulang, nanti Gio siapa yang masakin terus Gio nanti sarapannya gimana, Gio kan suka lupa nggak sarapan–”
“Naka.” Gio kembali memotong ocehan Naka karena salah satunya yang perlu dikhawatirkan disini adalah Naka. Ia tidak ingin mendengar alasan apapun karena semua keputusan yang ia buat demi kebaikan Naka.
“Nurut sama Gio dulu ya kali ini…”
Naka mau menangis rasanya. Ia tidak ingin jauh dari Gio-nya.
“Gio…” Naka terus menggeleng menolak, namun sekeras apapun ia mencoba tetap keputusan Gio yang harus ia turuti. “Nanti kalo adek kangen gimana Gio~” rengek Naka masih berusaha menemukan alasan agar Gio merubah keputusannya.
“Gio bakal sering mampir ke rumah pas weekend. Kalo jadwal check up nanti Gio juga akan usahain untuk anter naka. Please Naka kali ini nurut sama Gio dulu, iya?”
Naka mengangguk pelan pada akhirnya. Memang keputusan yang berat dari Gio untuk Naka. Namun lama kelamaan Naka juga akan mengerti Gio melakukan ini untuk kebaikannya dan calon buah hati mereka.
[ ]
rain.